Hah … Huh … Hah … Huh … suara nafas berderu kencang dimalam hari
Pada hari itu aku berusaha lari sejauh-jauhnya dari hiruk pikuk istana yang sedang berpesta. Pesta ini mungkin sangat menyenangkan bagi beberapa kaum bangsawan dan manusia berhidung belang. Tapi, bagiku ini adalah suatu pesta yang sangat tidak layak untuk dilihat oleh diriku yang masih belum cukup umur.
Oh, ya sebelumnya perkenalkan namaku adalah Anna salah satu putri kerajaan yang sangat disegani oleh seantero Nusantara. Tetapi martabat kerajaan itu mulai pudar saat beberapa kerajaan mulai beraliansi dengan kami. Mereka mengiming-imingi kami dengan segala teknologi dan janji yang mereka punya. Padahal tujuan asli mereka adalah untuk mengambil hasil bumi yang kami punya. Hingga akhir dari semua ini adalah keadaan kami yang sekarang ini.
***
Srek … Srek … Srek … suara dedaunan kering hutan yang dilewati oleh Anna.
“Hah … Hah … Hah … aku harus lari menjauh dari situasi ini!” Ujarnya saat nafasnya mulai tersengal karena telah berlari jauh dari kerajaan yang ia tinggali.
DUKK!!! Kaki Anna tersandung sebuah batu yang berada di tengah hutan.
“Sstt … aduh. Siapa sih yang naruh batu di sini?” Kesalnya dengan batu tersebut.
“HAH APA? Kau menyalahkanku anak kecil?” Sahut batu tersebut.
“HAH? Siapa yang ngomong barusan?” Tanyanya sambil mencari asal suara tersebut.
“OI ANAK KECIL! AKU DI BAWAHLAH!” Sahut batu tersebut dengan kesal.
“HAH! Batu bisa ngomong?” Gumamnya dalam hati sambil memandangi batu yang sedari tadi kesal karena ditabrak olehnya.
“HA … HA … HA …” Tawa batu tersebut
“Kau pasti kagetkan lihat aku bisa ngomong sepetimu.”
“Hah? ngga kok aku biasa aja.” Sambil menyembunyikan wajah kaget dan herannya.
“Sudahlah tak usah bohong. Aku lho tau kau lagi kagetkan ngelihatnya.”
“Lho, ko sotoy sih!” Ujar Anna dengan ketus karna tak mau kalah dengan sebuah batu didepannya.
“Hadeuhh … orang zaman sekarang emang susah ya dibilangin.”
“Idih, kayak sok ia aja.” Ketus Anna.
“Ok, lah kalau gitu.” Sambil mengubah dirinya menjadi trenggiling.
“Lah, kok berubah?”
“Lah emang kalo berubah kenapa? Emang ngga nyadar kalo tadi itu bukan batu tapi trenggiling.”
“Hah??”
“Hadeuh, emangnya belum pernah tau kesini, ya? Kok kayaknya bingung gitu?”
“Emang, aku ngga pernah kesini”
“Orang tuamu emang ngga pernah nyeritain gitu?”
“Ngga tu perasaan”
“Hmm, okelah. Kenalin namaku adalah Gili si Trenggiling. Hobiku adalah mencari makan, bersantai, berkeliling hutan, dan berteman dengan seluruh hewan yang ada di tempat ini.”
“Emang tempat apa ini?”
“KAU NGGA TAU?”
“Ya kan aku udah bilang tadi. Kalo aku ngga pernah diceritain. Gimana sih!”
“Okelah, akan ku ceritakan.”
Seketika trenggiling itu mulai bercerita dan Anna mulai mencari tempat duduk di atas batu agar menikmati serta memahami ceritanya. Trenggiling bercerita bahwa hutan yang ia injak sekarang adalah sebuah hutan yang dilarang oleh neneknya untuk didatangi. Ini berawal ketika adanya seorang penyihir suci yang datang dan menetap di hutan tersebut. Ia berpindah ke hutan tersebut karena ia merasa kesepian dan tidak memiliki kawan.
“Lah, penyihir kok ngga punya kawan?” Sahut Anna di tengah cerita.
“Nah, itulah dengerin dulu. Orang belum selesai kok!”
Sembari ingin melanjutkan ceritanya, Gili memperbaiki posisinya.
“Penyihir ini awalnya adalah seorang yang ahli dalam membaca firman-firman Tuhan yang telah lama usang. Hingga pada akhirnya ia mulai mengasingkan diri ke sebuah hutan. Setelah ia mencapai pencahayaan Ilahi, ia keluar dan mulai menyebarkan ajarannya untuk menyembah Tuhan yang satu dan berbuat baik kepada seluruh makhluk Tuhan yang ada di bumi tanpa terkecuali. Tetapi semua itu sia-sia, karena para manusia pada saat itu sibuk dengan dagangannya dan kehidupannya saja. Hingga akhirnya ia menyerah dan kembali mengasingkan diri di hutan ini”
“Terus, gimana ceritanya kalian bisa ngomong kayak gini?” Tanyanya karena heran.
“Jadi awalnya kami sudah bisa berinteraksi dengan hewan lain pakai bahasa yang diberi Tuhan oleh kami. Tapi karena ada orang yang memiliki kekuatan spiritual yang tinggi serta ia tidak ingin kesepian, akhirnya ia menyebarkan kekuatannya ke seluruh hewan yang ada di hutan ini. Agar kami bisa berkomunikasi dengannya.”
“Ooo …” Gumamnya dalam hati.
“Jadi gitu ceritanya. Oh ya, kau ngapain lari jauh-jauh sampai kesini kayak orang dikejar hantu gitu?”
“Oh, itu. Aku lagi kabur dari kondisi kerajaanku yang sedang tidak baik-baik saja.”
“Lah, emang ada apa di Kerajaan kok sampai kabur gini?” Tanya si Trenggiling.
“Di sana ada pesta besar, yang di mana pesta itu dihadiri banyak sekali bangsawan. Tapi banyak juga wanita penghibur yang ada di dalamnya, dan berimbas pada banyaknya kamar tamu di kerajaan yang dibuat untuk melakukan hal tidak senonoh. Dan juga kerajaan kami sedang dilanda krisis pangan dan gizi, sedangkan kami para keluarga kerajaan malah berfoya-foya.”
“Oh jadi gitu. SIAL!” Maki trenggiling secara spontan.
“Ada apa Gili, kenapa kau memaki?” Tanya Anna dengan heran.
“Cerita itu sama seperti yang dikatakan orang itu (gumamnya dalam hati). Ayo ikut aku Anna!”
“HAH, ada apa?”
“Udahlah ngga usah banyak nanya!”
Setelah ajakan si Gili, mereka pun berjalan ke tempat yang ingin dituju oleh Gili si Trenggiling. Selama dalam perjalan itu, Anna melihat banyak sekali hewan yang ada di dalamnya. Mulai dari hewan-hewan yang telah diancam punah maupun hewan yang sudah tidak ada di habitatnya sekarang.
“Hei Gili, apa masih jauh lagi nie jalannya?”
“Ya, mungkin masih jauh lagi tempatnya. Karena orang itu tinggal di dalam gua yang berada di dalam hutan yang lebat dan rindang ini. Dia pun hanya memakan hasil yang diberikan oleh alam, seperti buah-buahan.”
“Ooo …”
Setelah melewati perjalanan yang sangat panjang dan jauh di dalam hutan. Akhirnya mereka sampai ke suatu gua yang dihiasi dengan air terjun di sampingnya dan pemandangan pegunungan tinggi yang indah.
“Nah Anna kita sampai di guanya.” Ujar Trengiling memberi tahu.
“Wah! bagus, ya? Pemandangannya.” Takjub Anna ketika melihat view yang ada di sekitarnya.
“Kau kalau mau bersih badan dulu atau mungkin melepas lelah dari perjalanan panjang tadi, mandilah di air terjun ini. Di sini air terjunnya sangat segar airnya, karena langsung dari mata air pegunungan.”
“Ok, baiklah Gili. Aku mau istirahat bentar di air terjun ini.”
Akhirnya Anna pun bersiap untuk berenang menikmati kejernihan air terjun yang ada di tempat itu. Selama Anna mandi dan beristirahat di sana, Gili si Trenggiling mencari makanan serta kayu bakar dan mencari tuan Xiao Tze untuk bertamu dan meminta nasihatnya. Saat matahari mulai tergelincir ke arah barat, mereka mulai bersiap dan mengisi perut mereka yang kosong dengan buah-buahan yang ada di hutan.
“Gili, apa orang itu ada di dalam?” Tanya Anna karena hari telah mulai malam.
“Sabar, ya. Coba kulihat sekali lagi.”
Ketika Gili mulai mencari tuan Xiao Tze untuk kedua kalinya ia mulai membersihkan tempat yang mereka pakai untuk beristirahat. Sejurus setelahnya Gili mulai kembali ke pinggiran air terjun dan mengajaknya masuk ke dalam gua untuk menemui tuan Xiao Tze.
“Halo tuan Xiao Tze, aku bawa tamu.” Ujar Gili saat memasuki gua.
“Oh! Hai Gili, selamat malam. Inikah yang kau katakana itu Gili.”
Gili menjawabnya dengan memberi anggukan besertaan dengan senyuman.
“Nah, kenalkan Anna ini adalah tuan Xiao Tze. Orang yang tadi kuceritakan kepadamu.”
“Ooo, kau sudah menceritakannya Gili”
“Sudah tuan, sebelum kami melakukan perjalanan kesini.”
Tuan Xiao Tze membalasnya dengan sedikit anggukan lantas melihat Anna sembari tesenyum kepadanya.
“Oh, selamat malam tuan Xiao Tze. Perkenalakan namaku Anna.” Ujar Anna dengan ramah.
“Oh Anna, ayo kita masuk kedalam dan silahkan kalian duduk dulu aku akan menyiapkan penerangan.”
“Baiklah, tuan.” Ujar mereka berdua.
“Maaf, ya. Kalau di sini gelap dan lembap.”
“Ah, tidak mengapa tuan.” Sahut Anna dengan ramah.
“Baiklah aku akan menghidupkan api unggun dulu untuk penghangat serta penerangan kita malam ini. Karena hawa di sini sangat dingin saat malam hari.”
Selama tuan Xiao Tze menghidupkan api unggun Anna dan si Trenggiling duduk menikmati kesunyian malam di gua dan diselingi dengan obrolan ringan tentang perjalanan mereka selama di hutan.
“Ok baiklah, sekarang kita telah hangat. Coba ceritakan kepadaku bagaimana keadaan kerajaan sekarang.”
Setelahnya Anna menceritakan semua kronologi dan kondisi awal kerajaannya yang mulai mengeropos karena kebijakan pemerintah. Setelah mendengar penjelasan dari Anna. Ia pun diam sejenak dan menanyakan sesuatu kepadanya.
“Kau anak keberapa Anna?”
“Aku anak putri terakhir dari 3 bersaudara.”
Setelah mendengar jawaban dari Anna, tuan Xiao Tze memberikan nasihat agar ia berusaha mengayomi rakyat. Karena menurutnya kita hidup di dunia harus saling memberi manfaat serta ia sebagai putri dari keluarga Kerajaan harus berani berjuang demi rakyatnya agar mereka sejahtera. Karena mau bagaimana pun ia adalah pemimpin bagi rakyatnya, dan raja tidak akan menjadi seorang raja jika tidak memiliki rakyat yang ia pimpin. Mendengar nasihat yang diberikan oleh tuan Xiao Tze ia merasa bingung, karena ia merasa bahwa dirinya masih terlalu dini untuk mengayomi rakyatnya yang banyak.
“Terus tuan gimana caraku mengayomi rakyat dengan benar? Sedangkan aku baru berumur 17 tahun.”
“Kau bisa saja mengayomi rakyatmu dengan membantu mengurangi kesusahan mereka seperti memberikan BANSOS (Bantuan Sosial) setiap seminggu sekali. Dan kau menjadi pengawasnya. Dan juga dana BANSOS tersebut diambil dari kas Kerajaan.”
“Ooo … baiklah tuan Xiao Tze. Akan ku ingat selalu petuah bijakmu itu. Dan aku akan berusaha melakukannya tuan.”
“Ok, baiklah kalau gitu. Mari kita tidur dulu, karena hari sudah mulai malam sekali.”
“Baiklah tuan Xiao Tze.” Ujar mereka berdua.
Malam itu pun mereka berdua tidur dalam gua beralaskan tikar yang dianyam dan dihiasi dengan kunang-kunang yang terbang di langit-langit gua.