“Masih mondok? Udah tua tuh nyari duit, bukan malah nyari ilmu!”
Dari sekian tanggapan orang perihal ‘umur mondok’ dan ‘umur nafas’ saya, ini yang paling jauh. Mungkin maksudnya bercanda. Lucu yang bersifat relatif dengan kadar selera dan kebutuhan humornya, nyatanya malah mencipta spekulasi, malah bikin saya mikir: terus kepikiran ide buat nulis.
Mari kita bahas pelan-pelan, sedikit!
Ya, kaum pesantren, santri kerap kali terdistraksi dengan stigma gelap yang menyudut. Persepsi skeptis yang selalu saja mengorientasikan sukses dengan hal inherentif. Termasuk soal rezeki.
“Santri bisa apa?”
“Jebolan pesantren bisa apa?”
Kayak-kayak hidup sesempit isi kepalanya, sepanjang cocot mulutnya.
Tugas kita hanya sebatas usaha, do’a, dan tawakal. Lagi pula, ilmu sebagai kunci sukses pun juga sudah diberitahu. Lalu, apa yang salah dengan ‘masih nyari ilmu’ dalam naungan atap yang bernama pesantren? Emang berapa standarisasi ‘nyari duit’ untuk saya yang masih semester 5? Setua dan seurgent itu?
Bisa mondok dan kuliah, meski masih dibiayai, salah satu tanda ketercukupan dalam biaya. Masih mampu. Nyatanya, setiap bulan tabungan buku bacaan saya selalu bertambah. Sesederhana itu.
Lagipula, jangan terlalu capek mengurusi hal-hal eksak dengan kenyataan rezeki seorang pencari ilmu itu sudah dijamin Allah. Lagipula, kita bisa meraba sukses kita masing-masing.
Nggak soal rezeki, apralagi soal cibir, mari kita alih fokus untuk membahas perihal kepesantrenan: meski lagi-lagi perlahan dan sedikit.
Pesantren lahir dari sejarah yang panjang. Nggak ayal perihal pesantren sebagai lembaga pendidikan islam hasil adopsi dari India, Arab, dan Afrika; data Kementrian Agama di tahun 1984-1985 mencatat, bahwa Pondok Pesantren Jan Tanpes II di Pamekasan, Madura, menjadi pondok pesantren pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 1062 M, sangat amat jauh dari adanya nama Indonesia itu sendiri.
Manfred Ziemek, peneliti pendidikan Islam asal Jerman, mengutip temuan UNESCO bahwa pada 1954 tercatat ada 53.077 pesantren di seluruh Indonesia. Data ini menurut Ziemek belum akurat, karena pada 1971 Bank Indonesia memperoleh temuan bahwa angka pesantren di Indonesia hanya terdapat 11.000 unit saja. data paling anyar dirilis Pusat Pengembangan Penelitian dan Pendidikan Pelatihan (P-5) Kementrian Agama bahwa jumlah pesantren di 34 provinsi di seluruh Indonesia mencapai 28.000 pesantren dengan jumlah santri mencapai 3,85 juta jiwa.
Sebelumnya, sampai sini masih minat?
Dalam hal-hal apriori, pondok pesantren malah seenaknya dipersepsikan sesuai imajinasi: kanan, tengah, kiri.
Kanan, pesantren sebagai tempat belajar, beribadah, kebersamaan, kesederhanaan, hal-hal baik, lurus, ahli surga.
Tengah, pesantren yang terkesan arkais, kuno, kolot, jumud, usang, primitif, purba, dinosaurus.
Kiri, pesantren malah jadi pusat dogma radikal, fasis, sesat, subversif, agresif, menyalahkan, hingga teroris.
Entah, suka-suka kleanlah!
Perihal apriori itu juga, mungkin perlunya kita sesekali menengok lagi perihal konsep pemikiran Al-Farabi perihal klasifikasi akal teoritis yang terbagi menjadi 3 macam, yaitu akal potensial, akal aktual, dan akal mustafad. Terutama perihal akal potensial yang dalam bahasa Immanuel Kant dinamakan deontologi, sifatnya memang “dari akal ke akal”.
Di saat telah memahami konsep itu dan pede, silahkan menyimpulkan.
Lagian, mau seberapa berbusa menjelaskan, kayaknya akan percuma; lucunya, orang apriori itu, adalah mereka yang nggak pernah mondok: sama sekali.
Ah, kacau!