Nggak pernah habis, selalu dan melulunya santri dan semat proletar. Santri dinilai kaum kolot dan keterbelakangan. Meski dirasa lucu dengan penilaian yang dangkal dan serba eksoteris ini, yang lebih lucu lagi: hal ini banyak dikatakan oleh mereka yang nggak pernah mondok. Meski hanya sekali. Sama sekali. Jadi, nggak usah kita bahas panjang-panjang.
Dari banyaknya hal tentang santri dan kepesantrenan, entah kenapa mereka selalu menyorot kebersihan, kesehatan. Kayak-kayak kalau ada orang masuk pondok, jadi santri, langsung auto penyakitan. Mungkin kiranya pondok jadi pabrik konspirasi elite global untuk virus semikroba-mikrobanya yang dana bantuannya masih sempat-sempatnya ditilep.
Dikira pondok nggak jauh beda sama otak pejabat.
“Kok?” -kotor.
Untuk para orang tua yang saya hormati, banyak, nggak mau mondokin anaknya gara-gara hal itu. Banyak yang disebut. Apa aja disebut. Kebersihannya lah, makanannya lah, tidurnya lah. Dikira anaknya kalau masuk pondok bakal gampang sakit sampai ceking, seceking orang-orangan sawah dengan mata mau copot karena jarang tidur. Harusnya nggak sekerdil itu.
Bagaimana bisa kebersihan nggak terjamin dengan rincian spp bulanan yang mencantumkan dana kebersihan? Belum lagi andil kebersihan dari Departemen Kebersihan dan Kerapihan, agenda kebersihan pondok, dan tim roan santri khidmah penuh tulus sungguh? Mungkin perspektif dan prasangka kalian yang kotor dan harus dibersihkan.
Lalu, walau dirasa mustahil, bagi santri malang yang harus terkutip jarang makan dan jarang tidur oleh mereka, nggak usah kaget. Bisa aja kan jarang makan karena gara-gara puasa. Bisa aja kan jarang tidur karena gara-gara saking semangatnya belajar. Toh, puasa ada bukanya, belajar ada ngantuknya. Apa yang harus dibingungin?
Tapi, percaya atau nggak, santri adalah orang yang mendapat asupan makan dan tidur terbaik dari seluruh homo sapiens atau homo erectus paleojavanicus yang ngurus diri sendiri aja nggak becus. Ini serius. Menurut penelitian yang fix no debat, mengatakan, “senikmat-nikmatnya makan, ya pas lagi lapar-laparnya. Senikmat-nikmatnya tidur, ya pas lagi ngantuk-ngantuknya.” Maka jangan kaget kalau santri mau nerima makan dengan lauk apa saja, tidur bagaimana dan di mana saja. Dari sana pula timbulah sifat qona’ah dan syukur yang berkepanjangan dan mendalam. Sesederhana itu.
Sekali lagi, ini serius. Kadang, dalam hal apapun, kondisi itu harus pas. Hatus sesuai momen. Bahkan, sedekah sedikit pada orang yang membutuhkan itu lebih baik dari pada sedekah banyak pada orang yang nggak membutuhkan. Sedekah nasi padang ke orang yang haus habis lari Sulawesi-Aceh, percuma. Karena bukan momennya. Mereka nggak butuh itu. Hanya air.
Dengan begitu, jadi jelas. “Senikmat-nikmatnya bertemu, ya pas lagi rindu-rindunya.”
Terus dibilang, “aku nggak butuh semua pemberian kamu. Kamu selalu ada aja, aku udah senang.”
Uluhuluh.