Tulisan serius ini dibuka dengan konsep Determinisme History dalam ilmu Sosiologi yang mengatakan, bahwa kehidupan dibagi ke dalah 4 periode:
Tentu fokus kita dewasa ini, adalah terkait paham kesetaraan gender. Dengan itu, lalu, benarkah keyakinan itu telah berlaku? Atau mungkin kembali mati?
Untuk mendapatkan jawabannya, mari kita menilik sejarah, sebentar dan sedikit saja.
Mengutip buku Monolog Cinta, dikatakan: ”Bangsa Yunani kuno menganggap wanita sebagai harta benda kekayaan yang tak berharga. Sehingga diperjualbelikan secara terbuka di pasar-pasar sebagai budak dan dihinakan tanpa memiliki hak waris. Di Romawi kuno akad pernikahan sama dengan akad pertuanan, artinya secara formal suami membeli istri. Di Arab Pra-Islam, kaum wanita sangat terhina, sampai bila lahir bayi wanita, maka orang tua mereka akan malu. Adalah sesuatu yan dianggap hina untuk menjadi ayah dari seseorang wanita, karena kelahiran bayi wanita merupakan pertanda dari berita buruk. Apakah bayi itu akan dipelihara dengan menanggung kehinaan atau langsung dikubur hidup-hidup seketika itu juga. Belum selesai di situ, sampai pernah terjadi kongres besar di eropa abad ke-6 masehi oleh kaum intelektual mereka, wanita diperdebatkan sebagai manusia atau bukan dan apakah ia hanya bagian tubuh saja tanpa akal dan akhirnya ditetapkan bahwa wanita itu manusia bukan binatang, ia manusia yang diciptakan sebagai pelayan laki-laki.
Dengan rentetan itu, penjelasan singkat dari banyak dan panjangnya kebobrokan manusiawi, bisa dengan mudah menjawab pertanyaan kesetaraan gender di negara kita ini. Silahkan cari dan baca datanya!
Melansir dari laman Kemenpppa.go.id (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), mengatakan bahwa, dari awal Januari 2024 sampai dengan hari ini, tercatat ada 15.726 kasus kekerasan dan yang 13.669 kasus dialami oleh perempuan.
Juga mengutip dari laman Komnasperempuan.go.id, sepanjang tahun 2023, berdasarkan pada bentuk kekerasan, pada lembaga layanan didominasi oleh kekerasan seksual sebesar 2.363 atau 34,80%, diikuti dengan kekerasan psikis sebanyak 1.930 atau 28,50%, kekerasan fisik sebesar 1.840 atau 27,20%, dan kekerasan ekonomi sebesar 640 kasus atau 9.50%. Berbeda dengan lembaga layanan, data Komnas Perempuan menunjukan bahwa kekerasan psikis mendominasi dengan jumlah sebesar 3.498 atau 41,55%, diikuti dengan kekerasan fisik sebesar 2.081atau 24,71%, kekerasan seksual sebesar 2.078 atau 24,69%, dan kekerasan ekonomi sebesar 762 atau 9,05%. Bahkan, dari sekian banyak perlakuan buruk yang diterima perempuan, mulai dari kekerasan atau perundungan, seksual ataupun non seksual, parahnya dilakukan oleh orang-orang terdekat korban.
Terfokus pada kasus KDRT yang sedang ramai dan mencuat akhir-akhir ini, KH. Husein Muhammad dalam bukunya, Spiritualitas Kemanusiaan, berpendapat:
”Mengapa hal itu (KDRT) terjadi? Dalam banyak kebudayaa, Perempuan adalah makhluk subordinat laki-laki. Status istri lebih rendah dari suami. Suami adalah kepala rumah tangga. Suami berhak menentukan segala-gelanya dan istri wajib menurut dan taat. Dengan kedudukan ini, suami selalu dianggap berhak melakukan apa saja, termasuk memukul, tatkala istri tidak taat kepadanya. Hal yang tidak dapat dimengerti adalah pelaku sering menggunakan teks agama sebagai dasar tindakannya, tanpa memahaminya dengan benar. Mereka merujuk, misalnya, pada ayat al-Qur’an surah an-Nisaa’ (4): 34. Padahal, moralitas agama tentu tidak mungkin membenarkan adanya kekerasan terhadap siapa saja, apalagi terhadap istri.”
Sungguh, kekerasan dalam hal apapun, -terutama dalam rumah tangga, sama sekali tidak bisa dibenarkan. Karena bagaimanapun, terutama istri, adalah ibarat tawanan bagi lelaki yang tidak ada yang perlu dilakukan kecuali memperlakukannya dengan baik.
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّما هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ
“Berpesanlah kalian kepada para wanita dengan kebaikan kepada. Karena mereka adalah tawanan di sisi kalian.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Sebagaimana juga, bahwa seorang Perempuan itu tercipta dari tulang rusuk yang bengkok. Bahkan dalam hal menasehati dan berbicara sekalipun, seorang lelaki atau suami tetap disuruh melakukannya dengan baik dan lemah lembut: agar tidak patah tulang rusuk itu.
Karena tidak ada keringanan bagi pelaku KDRT di negara hukum ini, peraturan tentangnya diatur dengan sedemikian rupa. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 44 UU No. 23 Tahun 2004:
Isi Pasal 44 Ayat (1) UU PKDRT:
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Isi Pasal 44 Ayat (2) UU PKDRT:
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Isi Pasal 44 Ayat (3) UU PKDRT:
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
Isi Pasal 44 Ayat (4) UU PKDRT:
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Dengan itu, tidak perlu ditanyakan lagi perihal konsekuensi dalam agama dan apa yang harus ditanggung di akhirat kelak.
Di luar itu, sudah bukan rahasia umum, bahwa perempuan seringkali dianggap sebagai makhluk yang lebih emosionalis dan kurang rasionalis. Perempuan distigma sebagai makhluk yang lebih mengedepankan perasaan dibanding pemikiran.
Meski dalam lingkup psikologi, perempuan dan lelaki itu memang memiliki perbedaan, baik dalam anatomi ataupun sifat. Karena memang dalam konsepsinya, antara perempuan dan lelaki terbentuk dari hormon yang berbeda. Hasilnya menunjukkan, bahwa perempuan memang makhluk yang afektif dan sensitif.
Itu ada yang perlu dipermasalahkan soal itu. Hanya saja, hal yang menjadi titik fokus, adalah stereotip yang menyatakan ketidakmampuan perempuan dalam mengurusi segala hal-hal domestik yang menuntut pemikiran. Hanya saja perempuan dinilai sangat perasaan, bukan berarti ia tanpa adanya andil pemikiran.
Dengan kenyataan psikologis dan ditambah kultur sosial yang terjadi, membuat perempuan sering dijadikan sebagai subordinat, atau kasta yang di bawah lelaki: hanya sebagai pelangkap kehidupan, bukan tokoh inti.
Hingga, tak ayal, untuk segala peran dan andil hebatnya, baik pada masa lalu hingga realita kini, menjadi tidak dianggap, dilupakan, dan hilang begitu saja.
Maka, banyak dan luasnya teks redaksi mengenai peran dan andil perempuan yang dilupakan ini mencoba dibuka untuk diingat, fakta-fakta yang hilang berusaha digali untuk ditemukan: bahwa banyak perempuan hebat dalam pemikiran atau bahkan kekuatan.
Perihal pemikiran dan kecerdasan, tentu sama sekali tidak ditentukan dengan di mana kita lahir dan seperti apa kita dilahirkan. Bagi setiap orang yang bbersungguh-sungguh dalam belajar, maka ia akan cerdas.
Untuk membahas tentang sub ini, alangkah penting dan menariknya jika kita memasukan pemikiran-pemikiran KH. Husein Muhammad, seorang agamawan dan intelektulis yang menjunjung tinggi asas feminisme. Dari sekian banyak pemikiran dan pendapatnya, cukup cerdasnya dalam mengutip 2 pemikiran ilmuwan tentang perempuan: Al-Jahiz dan Ibnu Rusyd.
Al-Jahiz dan Perempuan.
Abu Utsman Amr bin Bahr al-Jahiz (w. 255 H/836 M), teolog, budayawan, dan sastrawan terkemuka abad pertengahan pernah menyampaikan analisis sosiologis tentang sikap dan pandangan masyarakatnya terhadap perempuan. Ia mengatakan, ”Aku tidak pernah berpendapat, begitu pula mereka yang berakal dan berpikir bahwa kaum perempuan berada di bawah atau di atas laki-laki satu atau dua tingkat atau lebih. Namun, realitas yang kulihat memperlihatkaan begitu banyak kaum perempuan dijadikan komoditas, dieksploitasi seenaknya, direndahkan demikian rendah, dan dirampas hak-haknya begitu besar. Menurut mereka, laki-laki yang lemah adalah mereka yang tidak bisa memenuhi kepentingan para bapak dan paman. Sebaliknya, laki-laki dipandang hebat jika mereka mengingkari hak-hak para ibu dan bibi.
Selanjutnya, Al-Jahiz mengatakan, ”Meskipun realitas sosial menunjukkan mayoritas laki-laki lebih unggul dari perempuan, tetapi kita tidak berhak mengurangi hak-hak mereka dan tidak selayaknya mereka yang menghormati ayah harus merendahkan hak-hak ibu.”
Melalui analisis tersebut, sastrawan terkemuka Mu’tazilah ini agaknya ingin mengatakan bahwa siapa saja yang mengeksploitasi, merendahkan, memarginalkan, dan merampas hak-hak perempuan adalah orang-orang yang tidak berakal dan berpikir atau tidak mau memikirkan. Orang yang berpikir atau mau memikirkan, tentu ia akan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki dan bertindak adil, proposional. Sebab, Tuhan Yang Maha Alim (Maha Mengetahui) pastilah tidak mendiskriminasikan makhluk-Nya.
*
Ibnu Rusyd dan Perempuan
Ibnu Rusyd adalah filsuf besar, komentator karya-karya Aristoteles, ahli fiqh Mazhab Maliki dan hakim agung Kordoba, ahli kedokteran terkemuka pada masanya, dan teolog bermazhab Sunni Asy’ari. Namanya sangat populer dan dihormati di Barat pada Abad Pertengahan. Mereka memanggilnya Averroes. Pikiran-pikirannya mengilhami kelahiran peradaban modern di Eropa (Renaisans).
Ibnu Rusyd sejak kecil belajar ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler melalui cara bandongan dan sorogan seperti para santri di pesantren. Ia adalah seorang ”kutu buku” dan penulis produktif . Konon, ia tidak pernah melewatkan hari-harinya tanpa membaca dan menulis, kecuali dua hari saja: ketika menikah dan saat kematian ayahnya. Ia lahir di Kordoba, Spanyol, 1126 M, dan wafat 1198 M.
Pikiran-pikiran Ibnu Rusyd yang sangat cerdas dan rasional banyak menimbulkan kontroversi hebat pada masanya. Selain pandangan filsafatnya, pendapatnya tentang perempuan juga tidak umum. Menurutnya, perempuan tidak berbeda dari laki-laki. Keduanya memiliki kualitas potensi (ath-thab) yang sama. Yang berbeda hanyalah pada aspek kuantitasnya (al-kamm). Perempuan, katanya, lebih lemah dalam bekerja.
Ia juga mengatakan, “Sebagian perempuan memiliki kelebihan dan kecerdasan atas laki-laki. Mereka ada yang menjadi filsuf dan penguasa. Namun, karena masyarakat pada umumnya telah memiliki keyakinan bahwa hal itu jarang terjadi pada perempuan, maka aturan (hukum agama/fiqh) tidak dapat menerima perempuan menduduki jabatan imamah (pemimpin tertinggi).
Dengan demikian, sangat jelas bahwa perbedaan kuantitatif perempuan dan laki-laki (seperti disebut Ibnu Rusyd) tentu saja bersifat social constructed (diciptakan secara sosial). Perempuan tidak diberi ruang yang bebas seperti laki-laki. Dan Ibnu Rusyd sangat percaya pada proses perubahan kehidupan. Pandangan Ibnu Rusyd tersebut jelas mendahului pikiran aktivis perempuan hari ini.
Siapa sangka, bahwa sejarah mencatat, banyak perempuan hebat karena kecerdasannya yang telah menjadi para ilmuwan dan imam. Imam as-Sakhawi (w. 1497 M), Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 1449 M), dan Imam as-Suyuthi (w. 1505 M) adalah para ahli hadits terkemuka. Mereka belajar dari guru-guru perempuan. Ibnu Hajar, misalnya, belajar pada 53 orang perempuan, Imam as-Sakhawi berguru pada 46 orang perempuan, dan Imam as-Suyuthi berguru pada 33 orang perempuan.
Imam as-Sakhawi mencatat ada 1075 perempuan terkemuka, 405 orang di antaranya merupakan ahli hadits dan fiqh terkemuka. Ibnu Hajar mencatat 191 perempuan, 168 di antaranya ialah guru besar hadits dan fiqh. Bahkan, Imam asy-Syafi’i adalah murid seorang perempuan bernama Nafisah. Dan sufi agung, asy-Syaikh Akbar, Muhyiddin Ibnu Arabi juga berguru pada dua orang perempuan cerdas di Makkah.
Aisyah binti Abu Bakar terkenal karena kecerdasannya, seorang yang sangat berperan dalam periwayatan hadits Nabi, hingga ia sampai disebut sebagai rajulah al-arab. Kata Abu Sa’id, “Sayangnya, orang asing (non-Arab) kemudian menenggelamkan predikat ini dari Sejarah. Demi Tuhan, ia (Aisyah) benar-benar begitu. Saya pernah mendengar orang mengatakan, ‘Kalau saja ayahnya punya anak laki-laki sepertinya (Aisyah) niscaya ia tidak akan bisa berbuat apa-apa di hadapannya (Aisyah).”
Kecerdasan Sayyidah Aisyah dibuktikan dengan kemampuannya meriwayatkan 2210 hadits selama mendampingi Rasulullah SAW. Secara keseluruhan, Aisyah menempati posisi keempat sebagai perawi hadits terbanyak, setelah Abu Hurairah (5374 hadits), Ibnu Umar (2630 hadits), dan Anas bin Malik (2286 hadits).
Hingga pun, sedikit orang yang tau perihal nama Sukainah, cicit Nabi yang menjadi guru-guru para sahabat dan ulama laki-laki, ahli sastra, penyair, ahli sejarah, kedokteran, retorika, dan tentara. Ia acapkali mengkritik tradisi patriarki dan menuntut kesederajatan dengan suami, bahkan terkadang mengambil inisiatif sendiri untuk membantah otoritas laki-laki.
Nabi sangat memuji perihal kemujuan berpikir kaum perempuan dalam menyuarakan pendapatnya. Bahkan saat Asma binti Abu Bakar yang menyampaikan pendapat dan menggugat privilege kaum laki-laki dalam peran sosial, politik, hingga ekonomi dengan bertanya, “Lalu apa hak dan peran kami untuk hal-hal tersebut, Wahai Nabi?”
Membuat nabi terkagum sebelum menjawabnya dengan memuji, “Lihat, tidak ada kata-kata yang lebih baik dari seorang perempuan, selain seperti perempuan satu ini!”
Bahkan pernah, dalam Jami’ al-Ushul, Khansa binti Khidam yang menyuarakan hak dan kebebasan kaum perempuan dalam memilih pasangan hidupnya. Karena ia dipaksa oleh ayahnya untuk dijodohkan dengan sepupunya yang tidak ia suka.
“Meskipun aku kemudian mau menikahinya, tetapi aku ingin mendeklarasikan kepada publik perempuan bahwa keputusa akhir tentang pilihan hidup ada di tangan perempuan, bukan ayahnya!”
Hingga bahkan, perihal perempuan dan kekuatan, tidak perlu menutup mata dan telinga akan tonggak kepemimpinan yang dipegang perempuan yang tentu tidak kalah dari kaum lelaki. Banyak nama yang tercatat sebagai perempuan revolusioner.
Sebuat saja Ratu Balqis dari Saba, Syajaratuddur dari Mesir, Maryam ibunda Nabis Isa, Aisyah binti Abu Bakar, Rabi’ah Adawiyah dari Baghdad, Banazir Bhuto dari Pakistan, Sultanah Khadija dan Fatima dari Maladewa, dan Syeikh Hasina dari Bangladesh.
Sejarah Indonesia pun mencatat sejumlah penguasa perempuan, antara lain: Taj al-Alam, Nur al-Alam, Inayat Syah, dan Kamalat Syah. Juga seorang pimpinan perang yang gagah, seorang pahlawan asal Aceh, Cut Nyak Dhien.
Ini hanya sebian kecil dalam lingkup kecil, keislaman dan Indonesia, belum lagi kita melihat dan mulai mau membaca akan realita sejarah para perempuan-perempuan hebat di seluruh dunia dengan segala lingkup aspek perjuangannya yang sampai sekarang, perjuangannya, entah: dihapus, hilang, dilupakan.
Hingga bahkan, sedari hal kemarin, Imane Khelif, seorang petinju Aljazair yang berhasil mendapatkan medali emas di olimpiade Paris, malah mendapatkan tuduhan dan diskriminatif.
Sampai sekarang, kesadaran kita akan keilmuan, terutama dalam sejarah dan kemanusiaan, masih perlu ditanyakan dan diperbaiki.
Selamat untuk perempuan, teruslah merdeka: tak lekang waktu.
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِلنِّسَاءِ (رواه الحكيم عن ابن عباس)
Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik kepada perempuan. (HR Hakim dari Ibnu Abbas, kitab Al-Jami’us Shaghir, hadits nomor 4101).