Hari Raya Idul Fitri atau lebaran adalah momen spesial, momen yang selalu ditunggu-tunggu. Sebuah masa merayakan kemenangan besar, atas peperangan melawan hawa nafsu selama bulan suci Ramadhan. Sudah barang tentu dengan bahagianya. Itu mengapa, lebaran selalu dihiasi dengan semarak, termasuk pakaian baru, masakan, dan hadiah-hadiah. Itu momen kebersamaan yang indah.
Di satu sisi, alih-alih semanis gulali dan seindah warna pelangi, lebaran bisa saja menjadi racun yang pahit dan awan yang mendung: menjadi momen yang menyedihkan.
Tidak sedikit orang yang sedih atas berakhirnya bulan suci Ramadhan atau hanya sekedar tidak dapat mudik ke kampung halaman dan berkumpul dengan sanak saudara.
Tapi, dari sekian sedih, ada suatu hal kiranya yang lebih pahit dan suram dari momentum lebaran yang seharusnya dirayakan dan semarak, adalah mereka yang ditinggal wafat oleh orang tercinta dan lebaran tanpanya.
Meminjam kata-kata Gus Mus:
“Lebaran adalah saatnya berbagi kebahagiaan. Tapi bagi sebagian orang, itu juga saat paling sepi, saat mereka hanya bisa mengenang yang telah pergi.”
Merayakan lebaran tanpa kehadiran orang tua, adalah lebaran yang tanpa raya.
Hal ini pernah terjadi di zaman Rasulullah Saw.
Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad as-Syakir al-Khuwairy (salah satu ulama abad ke-13) dalam kitab Durratun Nashihin (hal. 278), menjelaskan salah satu hadis riwayat Anas bin Malik yang mengisahkan sosok anak yatim yang bersedih di hari raya Idul Fitri. Kemudian, karena iba, Rasulullah saw pun mengasuhnya.
Dikisahkan, suatu ketika Rasulullah saw berangkat untuk melaksanakan shalat ‘Id. Di perjalanan, beliau melihat begitu banyak anak-anak bermain dengan cerianya. Tapi, Rasulullah terkejut begitu di hadapannya ada seorang anak kecil seorang diri dengan pakaian kumal sembari menangis. Merasa iba, Rasulullah saw pun bertanya, “Wahai anak kecil, apa yang membuatmu menangis. Kenapa tidak ikut bermain bersama teman-temanmu?”
Kebetulan anak kecil itu tidak tahu, bahwa yang di hadapannya adalah Sang Rasul. Anak itu menjawab, “Wahai laki-laki di hadapanku, ayahku telah meninggal saat mengikuti suatu peperangan bersama Rasulullah. Setelah itu, ibuku menikah lagi dan memakan semua harta-hartaku. Lalu bapak tiriku mengusirku dari rumah.
Sejak itu, aku pun tidak lagi memiliki makanan, minuman, pakaian dan rumah. Ketika telah sampai hari ini (Idul Fitri), aku melihat begitu banyak anak-anak berbahagia dengan ayah-ayah mereka. Aku pun sedih dan menangis.”
Setelah mendengar penjelasan anak yatim tadi, Rasulullah merasa begitu iba dan bermaksud untuk merawatnya. “Wahai anak kecil, bersediakah jika aku menjadi bapakmu, ‘Aisyah menjadi ibumu, Ali menjadi pamanmu, Hasan dan Husein menjadi kedua saudara laki-lakimu, dan Fatimah menjadi saudara perempuanmu?” Tawar Rasulullah.
Anak itu pun tahu, bahwa laki-laki yang di hadapannya itu adalah Rasulullah. “Bagaimana mungkin aku tidak senang wahai Rasulullah,” jawab sang anak dengan penuh gembira.
Nabi pun membawanya pulang ke rumahnya. Memberinya pakaian yang indah, memberi makan sampai kenyang, menghiasinya dan memberinya minyak wangi yang harum.
Sekarang, anak yatim itu bisa bermain dengan penuh tawa bahagia bersama teman-teman seusianya. Melihat itu, anak-anak yang lain melihatnya penasaran, “Bukannya engkau yang dulu menangis, mengapa sekarang terlihat begitu bahagia?” Tanya mereka penasaran.
Anak yatim itu menjawab, “Memang, dulu aku kelaparan, tapi sekarang aku kenyang. Dulu pakaianku buruk, kini sudah tidak lagi. Dulu aku seorang yatim, tapi kini Rasulullah adalah ayahku, ‘Aisyah ibuku, Hasan dan Husein saudara laki-lakiku, Ali pamanku, dan Fatimah saudara perempuanku. Bagaimana mungkin aku tidak bahagia?”
Anak-anak yang mendengar pengakuan itu merasa iri. “Andai saja bapak kami syahid saat peperangan, pasti sudah seperti engkau.”
Setelah Rasulullah wafat, anak itu kembali terlunta sebagai akan yatim. Kemudian diasuh oleh Abu Bakar Ra.
Wallahu a’lam.
Referensi: https://nu.or.id/hikmah/kisah-rasulullah-dan-anak-yatim-di-hari-idul-fitri-XAp1d