Dalam momentum Idul Adha seperti ini, ada banyak hal yang membuat saya resah. Bukan hanya perihal rindu daging masakan orang rumah, ataupun jatah libur dari pondok yang tak seberapa. Hanya sebuah hal sederhana yang cukup mengganggu pola pikir, lalu tak tahan ingin segera meluapkannya dalam tulisan: sebuah qoute yang menyentil.
“Jika belum bisa menyembelih binatang untuk berkurban, maka sembelihlah sifat kebinatanganmu!”
Atau qoute senada yang kurang lebih maksudnya seperti itu.
Saya menerka, saya menyangka.
Tentu menyembelih sifat kebinatangan tak bisa menggantikan menyembelih binatang dalam berkurban. Hal yang cukup menjadi tupoksi skeptis ini adalah perihal, “apa itu sifat kebinatangan?” dan “bagaimana cara menyembelihnya?”
Dalam keterbingungan itu, cukup tercerahkan, bahwa saya teringat, pernah membaca suatu keterangan dari bukunya Dr. Fahruddin Faiz, Filsafat Kebahagiaan, yang saya rasa hal itu mempu menjawab pertanyaan pembaca yang menulis ini.
Pada halaman 176 dari pemikiran Al-Ghazali, dengan penuh hormat dan kagum, sub-bab yang diberi judul, “Rupa-Rupa Kebahagiaan Jiwa” itu, semua penjelasan Dr. Fahruddin Faiz dalam sub-bab itu saya tulis semua:
Rupa-Rupa Kebahagiaan Jiwa
Kata al-Ghazali, hati-hatilah. Kalau kebahagiaanmu hanya karena urusan makan, minum, dan segala macam kebutuhan biologis, maka Anda termasuk kelompok baha’im (binatang ternak). Kalau kebahagiaanmu terletak pada menang-kalah –siapa ranking satu, siapa ranking di bawahnya, siapa yang statusnya tinggi, siapa yang statusnya rendah- maka Anda termasuk jenis binatang, tepatnya binatang sabu’iyah alias binatang liar/buas. Kalau yang membuat kita bahagia adalah tipu daya, muslihat mencurangi orang lain, maka kebahagiaan kita adalah kebahagiaan setani. Sedangkan kalau yang bikin kita bahagia adalah urusan ibadah dalam rangka menyembah Allah dan tidak membangkang sama sekali, kita ada di level malaikat. Itu bagus, tapi tidak manusiawi. Jadi, hati-hati, jangan jadi binatang ternak atau binatang buas. Jangan jadi setan dan juga jangan jadi malaikat. Bagaimanapun, kita oleh Allah disuruh menjadi manusia, bukan menjadi malaikat. Kalau manusia, berarti ada unsur baha’im-nya. Kita butuh makan, minum, dan seks.
Terus kalau yang ada di pikiranmu sekarang hanya soal menang-kalah dan ranking, berarti levelmu binatang sabu’iyah (binatang buas). Kalau yang ada di pikiranmu, “Kapan aku menang atau kapan status sosial tinggi”, berarti yang menang/dominan di dalam dirimu adalah unsur binatang sabu’iyah. Kalau yang ada di pikiranmu cuma urusan muslihat atau trik-trik kotor –bagaimana dengan segala cara aku bisa sukses, kaya, atau jadi bejabat- Anda ada di level setan. Tapi, kalau yang ada dalam dirimu, “Pokoknya kita harus pasrah 100% pada Allah. Ibadah jangan sampai putus. Tak boleh membantah Allah sedikitpun”, itu berarti Anda sampai di maqam malaikat. Dunia sudah lenyap tak tersisa. Pokoknya, aku hanya untuk Allah.
Cuma, kalau berhenti di level malaikat, berarti unsur baha’im Anda puasa terus, shalat terus, tanpa makan, tanpa merawat hidup dunia juga. Itu tidak manusiawi. Tidak ada unsur sabu’iyah-nya. Anda tidak punya lagi hasrat, ambisi, dan cita-cita. Anda akhirnya juga tidak manusiawi. Anda tidak akan bisa menjalankan perintah Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi. Anda tidak lagi punya unsur setan yang cerdas dan kreatif. Licik, berarti penuh siasat/strategi, itu bagus asalkan untuk hal yang baik. Licik di situ berarti mencari celah-celah yang tidak dilihat orang lain. Nah, itu namanya kreatif. Sedangkan, kasus Hassan al-Sabbah sendiri, dia jahat dan licik. Dia cuma menaruh pisau di bantal musuhnya sebagai tanda ancaman. Tugasnya sudah selesai sampai di situ; tidak perlu harus mengebom atu bom bunuh diri.
Intinya, berhati-hatilah. Kontrol lagi apa yang bikin anda bahagia. Kalau yang bikin Anda bahagia adalah ketika Anda ranking satu dan semua temanmu kalah, ada unsur sabu’iyah (binatang buas) yang dominan dalam dirimu. Kalau yang bikin Anda senang adalah punya uang banyak, bisa makan enak, terus bisa nikah, berarti yang dominan dalam dirimu adalah unsur baha’im (binatang ternak). Kalau yang ada di dalam kepalamu adalah bagaimana sepenuhnya saya mengabdi 100% pada Allah dan bagaimana meninggalkan urusan dunia yang tidak penting, Anda ada di level malaikat.
Dapat kita pahami, bahwa dalam diri manusia ada 2 unsur kebinatangan: baha’im atau binatang ternak, seperti makan, minum, dan seks; juga sabu’iyah atau binatang buas, seperti perihal ranking dan status; selain 2 unsur lainnya: setani, seperti hasrat, ambisi, cita-cita, dan licik untuk cerdas dan kreatif; juga malaikat, seperti hal ketaatan dalam tunduk patuh ibadah pada Allah.
Sangat salah jika kita mengecualikan dan menghapus salah satu dari 4 unsur itu. Sebagaimana kata Dr. Fahruddin Faiz, karena Allah mentakdirkan kita menjadi manusia dan memerintahkan kita untuk manusiawi. Lalu, untuk menjadi manusia yang manusiawi, adalah dengan bijak untuk memforsir kecenderungan 4 unsur itu: tentu untuk hal kebaikan.
Semoga bermanfaat.
Selamat Idul Adha!
Wallahu a’lam.