Malam yang sepi menjadi berseri, tenang yang nyaman menjadi penuh gemuruh. Membuat sanubari terusik hingga meluap penuh emosi. Sedang apa mereka? Manusia memang memiliki beragam cara untuk meluapkan emosi, jika tidak merugikan orang lain dan memberikan manfaat, kenapa tidak? Sayangnya, mereka seolah menutup kuping dari masyarakat yang terganggu.
Suara yang seolah menggetarkan desa menghasilkan suara sebesar 130 desibel atau hampir setara dengan suara ledakan tembakan itu mengganggu kegiatan istirahat Pak No di malam hari, membuat Pak No menghampiri lapangan tempat acara digelar.
“Mas! Malam-malam ngapain pake sound begini? Ini bisa mengganggu waktu istirahat warga, lho.” Protes Pak No kepada salah satu panitia—sebut saja Mas Doeng.
“Sebelumnya, kami mohon maaf, pak. Tujuan adanya acara ini hanya untuk hiburan semata, terlebih saat malam Minggu. Parkiran motor pun penuh sesak meski tarifnya cukup mahal. Itu berarti banyak masyarakat yang merasa terhibur dengan adanya acara seperti ini. Lagian kami sudah meminta izin kepada Pak Kades dua hari lalu sebelum acara dimulai.” Ujar Mas Doeng.
Perbedaan utama sound horeg dan sound system biasa terletak pada volume, tujuan penggunaan, serta dampak yang ditimbulkan. Menghasilkan suara menggelegar untuk menciptakan suasana ramai dan meriah. Tak hanya suara, rangkaian sound horeg berukuran besar yang diangkut menggunakan truk yang juga besar ukurannya, pun menjadi salah satu masalah yang hadir selama mobilisasi sound horeg.
Keributan antara Pak No dan Mas Doeng di tengah lautan manusia juga jedag-jedug dentum musik terus berlangsung. Pak No terus mengeluarkan argumennya seputar tingkat kebisingan yang aman untuk pendengaran, sedangkan Mas Doeng terus melawan dengan dasar sebagai hiburan. Pak No mengalami kekalahan suara ketika Mas Doeng mulai didukung oleh panitia lain dan beberapa peserta yang tertarik untuk ikut campur.
“Kalau memang bapak terganggu, ngungsi saja sementara, pak! Acara seperti ini bukannya tiap hari dilaksanakan, hanya satu sampai dua kali dalam setahun. Apa salahnya kita senang-senang?” Sarkas salah satu penonton yang memakai kaos oblong dengan celana pendek dan sandal jepit sebagai alas kaki.
Pak No terpojok ketika yang lain membenarkan ucapan itu.
Dari belakang Pak No, terlihat seseorang yang diselimuti karisma juga wibawa yang memimpin rombongan warga yang kontra akan adanya kebisingan dari acara tersebut. Gemuruh riuh dari warga sekitar membuat keributan semakin memanas bercampur dengan jedag-jedug dentum musik yang semakin keras.
“Selamat malam, Mas Doeng.” Suara yang tidak keras, tapi penuh wibawa keluar dari mulut om-om berbadan besar.
Mas Doeng dan panitia lain hanya menelan ludah sambil gemetar tubuhnya.
“Kemarin bilangnya cuma orkes-an pakai sound biasa, tapi kok malah seperti ini, ya? Saya jadi mendapat komplain dari beberapa warga sekitar lapangan.”
Beberapa jendela rumah dan etalase toko kelontong yang berada di sekitar lapangan bergetar hebat, lalu retak kemudian pecah. Bahkan beberapa genteng rumah rontok seolah disapu oleh suara. Melihat itu, Mas Doeng buru-buru memberi intruksi kepada panitia lain untuk mengecilkan volume dentum musik yang menggema seantero desa.
Suara jedag-jedug dentum musik yang tidak lagi menggelegar membuat para penonton kecewa, lantas protes kepada panitia.
“Mohon maaf, Pak Kades. Bukannya kita sudah bekerja sama? Kenapa seolah kami adalah maling yang sedang digerebek warga. Sepertinya Pak Kades bukan orang yang tepat untuk diajak berbisnis.” Kalimat yang keluar dari Mas Doeng membuat warga menjadi kebingungan.
Bersambung…