Menjadi santri adalah ibadah sepanjang hayat, tapi menjadi perempuan itu sampai akhirat. Sama dengan menjadi manusia, tirakatnya adalah ta’nisul-insan (memanusiakan manusia yang belum sadar bahwa ia manusia). Kalimat ini cukup menggugah kegundahan yang selama ini penulis rasakan. Kata-kata sederhana yang saya pinjam dari Ning Najhaty Sharma ini tak se-sederhana kita melakukannya. Teringat banyak sekali pertanyaan-pertanyaan para teman teman santri yang sering kebingungan ketika setelah lulus dari pondok. Mulai dari urusan pekerjaan, lanjut pendidikan bahkan persoalan pernikahan. Suatu ketika ada teman penulis yang sempat bercerita tentang kegundahannya di waktu mondok, sampai berfikir untuk apa mondok jika ujungnya dia tidak menjadi seorang kiai atau bahkan tidak mengajar sama sekali.
Seperti dawuh para Masyayikh Lirboyo yang selalu mengatakan kalau sudah di rumah, jangan lupa untuk ngadep dampar. Dawuh ini selintas terlihat mengharuskan para santrinya untuk mengajar di sebuah lembaga pendidikan atau syukur-syukur memiliki bangunan pesantren. Namun maknanya sebenarnya sangat dalam, seorang santri tidak harus semuanya menjadi sosok guru formal, atau bahkan kiai dan bu nyai yang memiliki dinasti pesantren. Mengajar dan menyebarkan ilmu tidak hanya sebatas ruangan kelas yang tersekat dengan peralatan meja dan kursi.
Bekal ilmu, spritualitas dan kapasitas mental santri membuat keistimewaan seorang santri untuk dapat berkontribusi dalam peran apapun. Meskipun tidak semua santri harus menjadi kiai tetapi mental kiai dan bu nyai harus tetap hidup. Profesi apapun yang ditekuni oleh seorang santri dengan memberikan dampak manfaat dan maslahat itu sudah dianggap mentransfer ilmu sebagaimana ngadep dampar yang didawuhkan. Contohnya ketika dia menjadi seorang pengacara yang memiliki ilmu pada bidangnya dan ia mampu memberikan pertolongan terhadap orang lain dengan menimbang hak kelalaian dan kebenaran dari setiap peristiwa. Ini menjadi gambaran bahwa setiap bidang memiliki nilai ilmu dan setiap ilmu memiliki manfaat dan kemudahan. Esensi ngadep dampar sendiri sebenarnya adalah seberapa banyak ilmu yang dipelajari dan cara bagaimana kita bisa mengambil manfaat dan menyebarkannya.
Para alumni yang sudah menekuni bidang profesinya tidak perlu minder ketika dia tidak menjadi seorang ustadz atau kiai. Justru santri saat ini sudah seharusnya bisa memberdayakan peran apapun yang dimiliki. Soft skill dan hard skill juga sudah banyak diajarkan di pondok pesantren. Terkadang realitanya kita menemukan sosok bunyai atau kiai yang justru mental spritualitasnya jauh lebih rendah daripada seorang petani. Sebab sejatinya kekuatan iman tidak bisa dinilai hanya karena sebuah profesi yang ia miliki. Hal ini menjadi himmah kita untuk selalu belajar dan mengasah kemampuan. Untuk menjadi seorang santri bermanfaat tidaklah harus memiliki bangunan pesantren, karena ilmu yang kita pelajari bukan hanya kembali kepada kaum santri tetapi seluruh negri.
Seperti yang dikatakan Gus Kautsar dalam ceramahnya “bahwa seorang santri jangan hanya bercita-cita untuk melanjutkan study di timur tengah, tetapi keluarlah dari zona nyaman untuk belajar ke negara-negara barat”. Jika tujuannya hanya timur tengah tidak usah payah jauh-jauh cukup dimaksimalkan menghabiskan ilmunya para ulama di Indonesia. Tetapi jika kita belajar seperti di negara Eropa tentunya akan menghasilkan terobosan ilmu baru yang bisa kita aplikasikan di negara kita. Seperti teknologi, ilmu ekonomi, kesehatan dan berbagai bidang ilmu lainnya dengan tetap memperhatikan etika dan prinsip-prinsip syariat. Apapun profesi yang dimiliki para santri semuanya itu adalah kebaikan dan kemanusiaan