“Nai?”
Tempat itu remang. Malam semakin larut. Jalan tampak surut oleh suara kendaraan yang sesekali lewat membelah kabut. Laron-laron semakin dalam mencumbu cahaya lampu menggantung. Minuman botol itu tampak mengembun tak disentuh.
Di teras sebuah toko, sepasang insan dipeluk keheningan.
“Aku minta maaf.” Suaranya parau.
“Nggak seharusnya kamu kayak gitu, Za. Membela orang lain itu baik, tapi kamu juga harus lihat diri kamu. Jangan terlalu memforsir.”
“Nai?”
“Kamu boleh jadi penerang untuk gelap orang lain. Tapi, jangan jadi terang lilin yang justru ia harus terbakar akan terangnya.”
Lelaki itu tertunduk lemah.
“Emang kamu pikir, kamu hilang berhari-hari menghindar dari kejaran mereka, aku nggak mikirin? Aku nggak khawatir? Aku khawatir, Za!”
“Nai?”
Kepalanya terangkat. Percuma ia berkata banyak, hanya menambah perih hati perempuannya. Air mata itu hampir tumpah.
“Aku tak pernah melarang kamu menulis. Aku selalu mendukung semua tulisanmu dan peduli akan mereka. Tapi sayangnya, kamu lupa untuk peduli dirimu. Kamu lupa untuk…untuk peduli aku. Peduli kita!”
Air mata itu benar-benar jatuh. Deras. Tak tertahankan.
Tak ada kata yang terucap dari lelaki yang semakin kurus itu. Ia usap tangis air mata yang membasahi pipi perempuannya. Membiarkan semua perasaannya tumpah.
“Nai, lihat aku!”
Ia angkat dagu mungil perempuannya. Ia pegang erat tangannya kuat-kuat. Pandangan mereka bertemu tak terkata.
“Sebelumnya, aku minta maaf kalau ternyata hal ini malah membuat kamu khawatir. Aku tak pernah berniat, Nai. Aku terlalu mengambil resiko. Aku terlalu gegabah. Dalam pelarian sana, aku tak munafik jika isi kepala ini tak memikirkanmu. Perasaanku tak pernah bisa tenang untuk kata selamat atau tidak. Berakhir atau tidak. Aku tak pernah bisa membayangkan jika harus dipaksa tak akan pernah melihatmu dan segala sihir senyum manismu lagi, Nai. Aku tak pernah merasa sok jago. Aku berharap untuk lebih bijak. Aku berusaha untuk tak dengar mereka dan lebih fokus untuk hal yang pasti. Aku memutuskan untuk keluar dari mereka.”
“Za?”
“Yang pasti, aku tak akan berhenti menulis. Aku tak akan pernah berhenti berusaha untuk tak membuatmu menangis. Aku mencintaimu, Nai.”
Tatapan mereka mengikat. Bibirnya kelu. Mengesampingkan sengguknya.
“You promise?”
“I am promise.”
Peluk.