Dalam dunia kepesantrenan sudah tak asing mengenai suatu kitab yang bernama “Al Hikam”. Yaps kitab Al Hikam tergolong kategori Kitab tasawwuf, yang ditulis oleh ulama besar sekaligus guru sufi yaitu Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Atho’ilah as-Sakandari. Ibnu Atho’illah sendiri merupakan tokoh penting dalam Thoriqoh Syadziliyyah, dan dalam lingkup tradisi NU, termasuk Thoriqoh Mu’tabaroh an-Nahdliyah. Begitu indahnya karya Ibnu Atho’illah, sampai-sampai menurut Gusdur (Abdurrahman Wahid), menjadi inspirasi dari lahirnya nama Nahdlatul Ulama.
Kitab ini sangat fenomenal bagi kalangan santri, hal ini di karenakan mengandung kalam-kalam mutiara yang sangat menginspirasi jiwa seorang pembaca. Sesuai namanya Al- Hikam, yang merupakan Jama’ dari Hikmah, dapat pula di artikan sekumpulan hikmah yang di bukukan dalam kitab Ibnu Atho’illah.
Selain itu, kitab ini juga menjadi kitab yang berbeda dengan kitab hikmah lainnya. Kitab ini di karang dengan bentuk sederhana dan tidak mencantumkan rujukan berupa dukungan ayat, hadist dan berbagai argumentasi lainnya. Tak hanya itu, kitab juga memiliki keunikan lainnya, yaitu untuk merefleksi atas pengalaman spiritualitas penulisnya.
Berikut sekilas redaksi yang ada dalam kitab Al-Hikam:
مِنْ عَلَامَاتِ مَوْتِ الْقَلْبِ عَدَمُ الْحُزْنِ عَلَى مَا فَاتَكَ مِنَ الْمُوَافَقَاتِ وَتَرْكُ النَّدْمِ عَلَى مَا فَعَلْتَهُ مِنْ وُجُوْدِ الزَّلَّاتِ
“Di antara tanda matinya hati ialah tidak adanya rasa sedih atas hilangnya kesempatan untuk taat kepada Allah dan tidak adanya penyesalan atas perbuatan (lalai dan maksiat) yang telah anda lakukan”.
lantas, apa hubungannya antara matinya hati dengan kehidupan seseorang? Seorang yang mati hati ibarat dia yang berjalan tanpa arah tanpa kontrol dalam dirinya. Terutama dalam kepekaan melakukan suatu dosa atau maksiat, tidak adanya rasa penyesalan atau bersalah. Hal ini sangat berbahaya, karena dia telah kehilangan kontrol. Selain itu, matinya hati juga memiliki hubungan dengan kebahagiaan. Untuk merasakan kebahagian, seorang perlu merasakan kesedihan atau kesusahan di awal. Sama halnya seorang yang ingin mendapatkan gelar juara, dia harus menyisihkan saingan atau kompititor.
Ibnu Atho’illah seperti ingin memberikan rambu peringatan kepada orang yang hihihaha selalu bahagia tanpa waspada dan menganggap tak ada apa-apa. Padahal semakin hari ada saja disrupsi atau tantangan dalam kehidupannya. Hal ini mengindikasikan kematian hati, berbeda dengan seseorang yang terharu, terenyuh hati, simpati dan empati dengan keadaan sekitarnya, menunjukan bahwa hatinya hidup.
Bukan berarti kita harus selalu pesimis dan menangis begitu saja. Kepada mereka yang banyak melakukan perbuatan dosa, Ibnu Athaillah menghibur agar tetap berbesar hati menjalaninya.
Jangan terjebak dalam keadaan dan hanya bersedih diri saja. Seolah Ibnu Athaillah selalu menyemangati “Move on dan mohonlah ampunan kepada-Nya”. Dalam sebuah penggalan doa dipanjatkan:
اَللَّهُمَّ مَغْفِرَتُكَ اَوْسَعُ مِنْ ذُنُوْبِنَا وَالرَّجَا عِنْدَنَا
“Ya Allah, sungguh ampunan-Mu lebih luas dari pada dosa-dosa kita, dan Kami hanya bisa berharap saja”
Cobaan Sebagai Bentuk Perhatian Allah SWT
Diturunkannya azab, bencana dan segala bentuk musibah tidak selalu kepada orang-orang yang berbuat dosa saja, melainkan menyeluruh ke semua orang yang telah dikehendaki-Nya.
لِيُخَفِّفْ أَلَمَ الْبَلَاءِ عَنْكَ عِلْمُكَ بِأَنَّهُ سُبْحَانَهُ هُوَ الْمُبْلِي لَكَ فَالَّذِيْ وَاجَهَتْكَ مِنْهُ الْأَقْدَارُ هُوَ الَّذِيْ عَوَّدَكَ حُسْنَ الْاِخْتِيَارِ
“Pedihnya ujian bisa diringankan dengan pengetahuanmu bahwa Allah Swt. lah yang menurunkannya. Yang mendatangkan ujian-takdir kepadamu adalah Dia yang juga bisa menganugerahkan pilihan-pilihan terbaik buatmu”.
jadi kesimpulannya, jangan pernah putus asa dalam menghadapi cobaan dan ujian. Tetap bersabar, tawakal, dan meminta pertolongan dari Alloh SWT.