Suatu hari, ada badut yang nggak begitu gendut. Sedari pagi sampai seharian ia mengitari taman itu dengan penuh ceria, penuh warna-warni membasuh tubuh. Bahkan, bunga-bunga anggrek dan tulip itu merasa minder akan mekar, harum, dan indahnya.
Tentu para pengunjung tersanjung. Terhibur dari hiburan yang dihibur. Apalagi ini hari libur. Apalagi juga, perut kenyang dengan 2 mangkuk bubur. Tapi, bukan berarti semangat dan gerak harus terkubur. Mending healing dengan keluarga pergi ke taman untuk kebahagiaan yang terhambur.
Hingga, di saat hari hampir gelap, hari di mana pemenuhan lelah dan lelap-lelap. Meski sebenarnya bisa dibilang ia ahli sulap, tapi tak ada daya upayanya ia akan nasi dan suap. Badut yang sewaktu SD pernah dapat nilai 10 di ujian bahasa indonesia dan bercita-cita jurnalis itu, memilih bersandar pada dinding bercat pudar. Dengan penuh sadar, ia memilih menulis ala kadar:
Sebagai makhluk hidup, kita berperan untuk menjaga hidup. Antara makhluk satu dengan makhluk lain dan stabil. Selain senang, kita perlu menciptakan hidup dengan tenang.
Tentu, mau nggak mau, kita harus bersosial dan cerdas. Agar nggak ada kesenjangan dan kerenggangan. Ya, dengan cerdas memposisikan diri terhadap lingkungan dan subjek yang menempatinya. Nggak hanya tekstual, perlu juga kontekstual. Kita harus mengimbangi lawan bicara demi keberlangsungan hidup. Agar nggak ada kesalahpahaman. Agar timbul rasa nyaman.
Tapi, nyatanya, saat kita menuntut diri sendiri untuk orang lain. Untuk mengimbangi dan kabul harap ingin orang-orang, kita malah makin asing dengan diri sendiri. Terlalu banyak peran dan watak yang menindih dan mengubur peran dan watak alami kita. Lalu, ketegasan bersikap dan bersifat kita dipertanyakan. Harga diri terombang-ambing.
Ada yang perlu kalian ingat dan catat: kalian nggak bisa bahagiain semua orang! Lihat aja diri itu dalam-dalam. Ada sepotong bahagia nggak di sana? aku tau kamu pengen ngeluh. Kamu capek. Kamu lemah. Kita semua capek, kita semua lemah. Ingin berontak dari segala kepura-puraan dan tuntut ingin orang-orang. Tapi, kita khawatir, tenang hidup yang dipertaruhkan? Iya, kan?
Sosial, tenang, senang memang saling ikat mengikat. Tapi, kita juga punya ego. Kita punya ruang pribadi dan energi. Sayangnya semua itu naik turun.
Jadi, kita nggak perlu capek-capek buat hidup orang lain. Hidup kita aja berserakan!