Pernah seorang gurunya bertanya, apakah Kartini mau ikut Letsy pergi ke Belanda guna melanjutkan pelajaran Kartini terdiam. Matanya berbinar riang, tapi kemudian redup. Dengan tersendat dia menjawab: “Jangan tanya apa saya mau, tanyakan apa saya boleh.”
Pada 1892, usia Kartini memasuki umur 12 tahun 6 bulan atau usia remaja putri. Meskipun Sosroningrat cukup progresif menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah Belanda, dia belum dapat melepaskan seluruh adat bangsawan yang kolot. Kartini tidak boleh melanjutkan pelajaran. Dia sudah dianggap cukup besar untuk dipingit, dikurung di dalam rumah tanpa hubungan dengan dunia luar sampai ada seorang pria yang melamarnya.
Dalam surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini menceritakan kesedihannya. Betapa Kartini memohon kepada ayahnya agar diperbolehkan melanjutkan sekolah ke Hogere Burgerschool di Semarang. Dia memohon sambil menangis dan bersujud, tapi sang ayah, meski pedih, tetap mengatakan tidak.
Kartini berlari menuju kamarnya, tak kuasa menahan air mata. Dia merayap ke kolong tempat tidur, menyendiri dalam kesedihan. Beberapa saat sebelumnya, dia masih berlutut di hadapan ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, agar diizinkan melanjutkan sekolah ke Hogere Burgerschool (HBS, setingkat sekolah menengah) di Semarang. “Tidak,” jawab sang ayah tegas.
Kala itu, awal 1892, Kartini yang baru saja lulus Europeesche Lagere School (sekolaah dasar untuk orang Eropa) sedang galau. Di usianya yang belum genap 13 tahun, dia sudah diperintahkan ayahnya menjalani pingitan. Seketika dunia Kartini menyempit. Dia dilarang keluar dari kompleks rumahnya yang megah. Jangankan ke pendapa, serambi saja hanya sesekali diinjaknya. Itu pun sebentar.
Hari-harinya yang menjemukan semakin sunyi tatkala Letsy Detmar, kawan sekolahnya dulu yang beberapa kali datang ke rumahnya, pulang ke Belanda.
Hampir saban pagi matanya berkaca-kaca ketika melihat kedua adiknya, Roekmini dan Kardinah, berangkat ke sekolah. Masih teringat jelas di benaknya betapa riang suasana di sekolah. “Berlalu sudah! Masa mudanya yang indah sudah berlalu!” tulis Kartini menggambarkan nasibnya dalam salah satu suratnya kepada Rosa Manuela Abendanon Mandri, istri kedua Jacques Henrij Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda.
Kepada Estelle “Stellla” Zeehandelaar, aktivis feminis dari Belanda yang menjadi sahabat pena pertamanya, Kartini menceritakan betapa putus asa dia menjalani pingitan yang mengerikan. Beberapa kali dia membenturkan tubuh ke dinding batu tebal di sekeliling rumah dan gerbang yang selalu terkunci. Otaknya terus mempertanyakan mengapa begitu rendah kedudukan wanita di tanah kelahirannya, begitu pula soal beraneka tradisi feodal lainnya.
Perlahan Kartini menyadari keputusasaan dan tangisnya tiada berguna. Belakangan dia bersyukur karena pingitan tak menjadi penghalang untuk meneruskan kegemarannya sedari kecil: membaca. Di dalam “kurungan”, dia melahap habis buku-buku modern kiriman Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak kandungnya yang “lebih beruntung” karena dapat melanjutkan sekolah di HBS Semarang hingga Universitas Leiden, Belanda.
Kartini juga memanfaatkan kotak bacaan (leestrommel) langganan ayahnya, yang berisi buku, koran, dan majalah dari dalam dan luar negeri. Bacaan-bacaan bertema sosial, politik, hingga sastra itu membantu Kartini menemukan jawaban atas pertanyaannya selama ini. Tanpa sadar, segala bacaan itu telah mendidiknya—yang selama ini seakan-akan menjadi perempuan muda Jawa yang terbuang dari pendidikan—untuk berjuang mendobrak tradisi yang menindas kaum perempuan.
Pada tahun keempat menjalani pingitan, nasib Kartini sedikit membaik. Dua kakaknya yang menentang gagasan perlawanannya pergi dari rumah. Slamet Sosroningrat meninggalkan Jepara dan RA Soelastri dipersunting Patih Kendal Raden Ngabei Tjokroadisosro. Kartini memanfaatkan kepergian mereka untuk berkumpul dengan Roekmini dan Kardinah—yang juga sedang dipingit—di kamar peninggalan Soelastri.
Kepada kedua adiknya, Kartini mulai menerapkan gagasannya tentang persamaan derajat. Dia membebaskan mereka dari tradisi unggah-ungguh berlebihan. Sang adik, misalnya, boleh mendahului tanpa merangkak di tanah. Alhasil, ketiganya bersukacita dalam pergaulan tanpa kekakuan yang selama ini menyelimuti persaudaraan mereka. “Peduli apa aku dengan segala tata cara itu. Di antara kami tak ada tata cara lagi,” ujar Kartini dalam suratnya kepada Stella. “Perasaan kami sendiri yang menentukan sampai mana batas-batas feodal boleh dijalankan!”
Pada 1896, di tahun keempat pingitan, menjadi tahun yang spesial bagi seorang Kartini yang baru saja menginjak umur 16 tahun. Karena itulah kali pertama ia kembali melihat dunia luar. “Ya, Tuhan, terima kasih! Tuham, terima kasih! Aku bisa keluar dari penjara sebagai seorang yang bebas,” kata Kartini dalam surat pertama yang dikirimlkan kepada Estelle “Stella” Zeehandelaar, gadis Belanda yang ia kenal lewat iklan di majalah De Hollandsche Lelie itu.
Dia dan dua adiknya diajak sang ayah menghadiri upacara pembaptisan sebuah gereja baru di Kedungpenjalin. Apa pun alasannya, bagi Kartini, kehadiran dia di gereja yang menjadi bagian dari Badan Misionaris Belanda atau Doopsgezinde Zendingsvereniging untuk wilayah sekittar Gunung Muria itu merupakan fase paling menggembirakan dalam hidupnya.
Tapi setelah itu, sudah. Mereka harus kembali ke dalam ruang gelap pingitan.
Meskipun begitu, Kartini dan kedua adiknya tetap bergaul dengan akrab dan tak terpisahkan. Kartini bahkan menyebut dia dan kedua saudaranya itu sebagai Het Klaverblad atau Daun Semanggi. Keakraban kakak-adik itu, seperti tertuang dalam buku Kartini: Sebuah Biografi (1977) karangan Sitisoemandri Soeroto, membuat mereka mendapat cibiran dari lingkungan sekitar. “Kami bahkan dijuluki kuda atau kuda liar karena jarang sekali berjalan, tapi pecicilan ke sana kemari,” tutur Kartini kepada Stella.
Tentu saja hari-hari mereka tak cuma diisi senda gurau. Setiap hari ketiganya menghabiskan waktu dengan aneka hobi, seperti menggambar, melukis, dan bermain piano. Setiap siang, mereka belajar membatik di serambi belakang bersama Ibu Ngasirah. Kartini juga menularkan hobinya membaca kepada dua adiknya. Surat kabar Semarang, De Locomotief, yang diasuh Pieter Brooshooft; sejumlah majalah lain, seperti majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat; serta majalah wanita Belanda, De Hollandsche Lelie, menjadi sahabat mereka.
Kartini sendiri tetap meneruskan kebiasaannya kala dipingit sendirian, seperti dikemukakan Roekmini dalam suratnya kepada Nyonya De Booy-Boissevan, “Mbakyu Kartini selalu sibuk. Siang tidak beristirahat, malam menulis sampai jauh malam. Jam lima pagi ia sudah memasang lampunya lagi untuk meneruskan tulisannya.” Salah satu tulisannya berjudul “Het huwelijk bij de kodja’s” menceritakan upacara perkawinan suku Koja di Jepara, yang kemudian dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie pada 1898.
Semangat Kartini memperjuangkan kesejahteraan bangsanya, terutama kaum perempuan, juga memasuki jiwa Roekmini dan Kardinah. Empat tahun dipingit sendirian memberi cukup banyak waktu bagi Kartini untuk memahami bahwa kemajuan bangsa tidak mungkin tercapai tanpa mengangkat kaum perempuan dari kekolotan. Seperti di masa kanak-kanak, Roekmini dan Kardinah dengan penuh keyakinan menyatakan ikut berjuang bersama Kartini memerangi musuh bersama, yakni feodalisme, poligami, kawin paksa, dan perceraian sewenang-wenang.
Semangat kakak-adik itu kian menyala ketika, pada 2 Mei 1898, sang ayah membebaskan mereka dari pingitan. Hari itu tiga serangkai Kartini, Roekmini, dan Kardinah diajak ke Semarang untuk merayakan penobatan Ratu Wilhelmina. Untuk pertama kalinya mereka bertiga keluar dari Jepara. “Itu kemenangan yang sangat besar. Tapi aku toh tidak puas. Aku mau merdeka, berdiri sendiri, agar tidak bergantung pada orang lain,” tulis Kartini tentang hari itu.