Tik… Tik… Tik…
Suara mesin tik bersahutan detak detik. Di ruang hampa, sekelibat diorama memantulkan bayang-bayang penuh irama dan drama.
Satu per satu, huruf-huruf bertinta pucat pasi mulai timbul menegak bagai tonggak. Ia membentuk sebuah kata sederhana: SANTRI, kau menamainya.
Lembar-lembar lusuh yang memugar, bertumpuk, berdebu, dan tak ada daya tak ada upaya berkibas ditiup angin.
Menerka maknanya, menyelimuti sanubari.
Santri terjelaskan dalam maktub tradisi cantrik Hindu bahasa Sanskerta berupa “Shastri” yang berarti orang yang mempelajari “Shastra” atau kitab suci. “Pe-shastri-an” membentuk kata “Pesantren” yang mengajarkan huruf-huruf hijaiyah, merekatkan Sin berarti Salik ilal-Akhirah, Nun bermakna Na-ib ‘anil-Masyayikh, Ta’ bermaksud Tarik ‘anil-Ma’ashi, Ra’ berpenjelas Raghib ilal-Khayr, dan Ya’ berinterpretasi Yarjus-Salamah
Ruang menerawang awang-awang, berhadapan dari rongga-rongga sarung yang berkelebat.
Santri tercipta bagai mata pedang yang saling berkait dan paradoks. Tidak sesederhana batang penanya, tapi juga setajam runcing ujung jarumnya. Bukan hanya soal pena yang mengukir hitam tinta, tapi santri juga mengukir perjuangan dan peradaban dengan pena yang berteteskan merah darah.
Sejarah telah mengokoh dan mengukuh perjuangan kaum pesantren, dalam naskah-naskah yang berhambur: hampir terkubur.
Sejak dahulu kala, para santri telah mengumpulkan batang-batang bambu untuk menegakan ruang belajar dan semat lembaga pendidikan tertua di Indonesia: yang mengajarkan cara mencintai bangsa dan agama, orang lain dan diri sendiri.
Hingga, datangnya penjajah-penjajah dengan ujung senapan yang memanas berdetus, perang dan perlawanan sepenuhnya meletus. Batang-batang bambu dikumpulkan lebih banyak, diruncingkan, berlumur darah dan harapan. Para pejuang mempertaruhkan jiwa raga, berjuang dengan segenap tenaga dan pikiran, lalu mengantarkan pada momentum revolusioner Fatwa Resolusi Jihad yang digaungkan KH. Hasyim Asy’ari dan menggema ke seluruh Indonesia dan hati yang merindukan kata merdeka.
“Medeka!”
“Merdeka!”
“Merdeka!”
Kita tau, perjuangan takan pernah usai. Karena sejatinya, perjuangan berjalan lurus beriringan dengan tantangan. Tantangan silih berganti, dan kita takan pernah berhenti.
Baik moderasi atau literasi, ekonomi atau ekologi, mortar dakwah era digital atau mortir era bonus demografi.
Perjuangan akan terus berlanjut.
Perjuangan akan terus bersambung.
Teruntuk sosok yang terus berjuang, sosok yang terus berdiri di depan.
Selamat Hari Santri:
“Menyambung juang, merengkuh masa depan.”