Kisah awal tokoh yang dikenal dengan nama Sunan Kalijaga ini dimulai dengan kisah mengenai masa mudanya yang diliputi kenakalan, hingga beliau mendapat julukan “Lokajaya” yang artinya penguasa wilayah. (Loka: wilayah, Jaya: menang/menguasai).
Raden Syahid muda yang suka melakukan tindak kekerasan semena-mena, bertarung, berjudi, bahkan merampok, akhirnya diusir oleh keluarga. Namun hal itu tidak membuatnya jera, beliau justru merampok kalangan ningrat untuk dibagikan kepada rakyat jelata.
Suatu ketika, Raden Syahid bertemu dengan Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang). Beliau lalu merampas tongkat Sunan Bonang yang berdaun emas. Bukannya marah, Sunan Bonang justru terharu, lalu menasehati Raden Syahid tentang tindakannya yang menurut Sunan Bonang “Bagai wudlu’ menggunakan air kencing” (terlihat baik, yaitu untuk dibagikan kepada fakir-miskin, namun caranya kotor, yakni merampok).
Maka sebelum meninggalkan Raden Syahid, dengan sedikit rasa iba Sunan Bonang pun mengubah buah kolang-kaling (yang masih di pohonnya) menjadi emas seluruhnya. Karena karomah Sunan Bonang tersebut, Raden Syahid akhirnya mengikutinya untuk berguru ilmu kesaktian dan kedigdayaan kepadanya.
Berbekal ilmu bela diri dan jiwa yang tangguh, Raden Syahid akhirnya mempelajari banyak ilmu dari Sunan Bonang, seperti kesenian, kebudayaan masyarakat lokal, ilmu falak, serta ilmu pranatamangsa (pembacaan cuaca). Beliau juga mempelajari ilmu-ilmu ruhaniah (tarekat) hingga diangkat menjadi wali di Tanah Jawa, dengan gelar Sunan Kalijaga.
Dalam hal dakwah, Sunan Kalijaga merupakan wali yang paling luas cakupannya. Berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, menjadi dalang, penggubah tembang, pamancangah men-men (tukang dongeng keliling), penari topeng, desainer pakaian, perancang alat-alat pertanian, penasihat sultan dan juga pelindung ruhani kepala-kepala daerah.
Makam Sunan yang mengarang tembang ‘Lir-ilir’ ini terletak di tengah kompleks pemakaman Desa Kadilangu, sekitar 3 km dari Masjid Agung Demak. Seperti makam Wali Songo umumnya, makam Sunan Kalijaga berada di dalam bangunan cungkup berdinding tembok dengan hiasan dinding terbuat dari kayu berukir.
Suasana malam ini sangat menenangkan. Rombongan khazanah Al-Mahrusiyah memulai agendanya di Makam Sunan Kalijaga pada pukul 20.31 WIB, setelah melaksanakan sholat jamak ta’khir + qoshor maghrib isya’. Pembacaan tahlil dipimpin oleh Agus H. Izzul Maula Dliyaullah, sedangkan do’a bersama dipimpin oleh Agus H. Nabil Aly Utsman.
Sekitar pukul setengah sepuluh, kami pun kembali ke bus masing-masing dan berangkat menuju Makam Raden Fatah.
Pesan Moral dibalik Lagu Lir-ilir
Sunan Kalijaga menciptakan lagu Lir Ilir ketika kerajaan Majapahit runtuh pada abad ke-16. Media dakwah berupa lagu pun dipilih Sunan Kalijaga agar mudah diterima. Beliau menerapkan prinsip filsafat “keno iwake ora butek banyune” yang berarti ikan harus ditangkap tanpa membuat air menjadi keruh.
Dalam rangka memperbaiki kualitas moral masyarakat Nusantara, Sunan Kalijaga menggubah tembang dolanan sebagai berikut:
Lir-ilir, lir-ilir
(Bangunlah, bangunlah!)Tandure wus sumilir
(Tanaman sudah bersemi)Tak ijo royo-royo
(Demikian menghijau)Tak sengguh temanten anyar
(Bagaikan pengantin baru)Cah angon, cah angon
(Anak gembala, anak gembala)Penekno blimbing kuwi
(Panjatlah (pohon) belimbing itu!)Lunyu-lunyu penekno
(Biar licin tetaplah kau panjat)Also Read: Raden Umar Said dan Ragam PeninggalannyaKanggo mbasuh dodotiro
(Untuk membasuh pakaianmu)Dodotiro, dodotiro
(Pakaianmu, pakaianmu)Kumitir bedah ing pinggir
(Terkoyak-koyak di bagian samping)Dondomono, jlumatono
(Jahitlah, Benahilah!)Kanggo sebo mengko sore
(Untuk menghadap nanti sore)Mumpung padhang rembulane
(Mumpung bulan bersinar terang)Mumpung jembar kalangane
(Mumpung banyak waktu luang)Yo sorako, sorak iyo!!
(Ayo bersorak lah dengan sorakan Iya!!)
Lagu ini mengajarkan tentang hakikat kehidupan. Setiap syair memiliki makna yang berbeda, namun tetap terhubung menjadi satu kesatuan. Berikut penjelasannya:
Demikian makna lagu yang digubah Sunan Kalijaga. Lagu yang memiliki makna ganda, dengan filosofi yang dalam maknanya, seperti ‘pohon belimbing’ yang melambangkan Rukun Islam, atau ‘dodotiro’ yang melambangkan pakaian kafan.
Wallahu a’lam.
Baca Perjalanan Khazanah 2025 Selanjutnya di https://elmahrusy.id/delapan-prinsip-kepemimpinan-raden-fattah/