Raden Makdum Ibrahim merupakan seorang penyebar Islam yang menguasai ilmu fikih, ushuluddin, tasawuf, seni sastra, arsitektur dan ilmu silat dengan kesaktian dan kedigdayaan menakjubkan. Makam beliau terletak di kompleks pemakaman Desa Kutorejo, Kecamatan Tuban, tepatnya di sebelah barat alun-alun dan Masjid Agung Tuban.
Kami sampai disana sekitar pukul sebelas malam. Untuk menuju makam, kami harus naik becak, menikmati sejuknya udara malam di tengah jalanan lenggang. Pada pukul 01.36 WIB, barulah kami melantunkan tahlil bersama yang dipimpin oleh Agus H. Nabil Aly Utsman.
Setelah ini, kami membagi rute menjadi dua. Para peserta ziaroh Wali lima yang merupakan santri tamatan Sekolah Formal SMP dan MTS harus kembali ke Pondok Pesantren tercinta. Oleh karena itu, mereka berkesempatan untuk belanja oleh-oleh untuk teman-teman di pondok ataupun untuk keluarga di rumah.
Sedangkan para santri tamatan SMK, MA dan tamatan Madrasah Diniyah kelas 3 Aliyah langsung diarahkan menuju bus masing-masing untuk melanjutkan perjalanan ke Walisongo. Kami akan terlebih dahulu ziarah ke Wali-Wali di Jawa Tengah dan Jawa Barat selama dua hari kedepan. Adapun tujuan selanjutnya adalah Makam Sunan Muria di Kudus.
Mengapa Raden Makdum Ibrahim Bergelar “Sunan Bonang”?
Dalam berdakwah, Raden Makdum Ibrahim sering menggunakan wahana kesenian dan kebudayaan untuk menarik simpati masyarakat, salah satunya adalah perangkat gamelan jawa (bonang). Menurut R. Poedjosoebroto dalam Wayang Lambang Ajaran Islam (1978), kata “Bonang” berasal dari suku kata bon + nang = babon + menang = baboning kemenangan (induk kemenangan). Bonang sendiri adalah sejenis alat musik dari bahan kuningan berbentuk bulat dengan tonjolan di bagian tengah, mirip gong ukuran kecil.
Pada masa lampau, alat musik ini digunakan untuk pengiring pertujukan wayang. Selain itu, aparat desa juga memanfaatkannya untuk mengumpulkan warga ketika ada woro-woro dari pemerintah.
Dalam proses reformasi seni pertunjukan, Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) berperan sebagai dalang yang menyebarkan ajaran ruhani lewat pagelaran wayang. Beliau juga senang menggubah sejumlah tembang yang dikaitkannya dengan ilmu tasawwuf sebagai wejangan.
Diantara kitab yang dijadikan rujukan, antara lain: Ihya ‘Ulumuddin karya Al-Ghazali, Tamhid karya Abu Syakur As-Salimi, Talkhis al-Minhaj karya An-Nawawi, dan Hilyatul Auliya karya Ahmad bin Ashim Al-Anthaki.
Wallahu a’lam.
Baca Perjalanan Khazanah 2025 Selanjutnya di https://elmahrusy.id/raden-umar-said-dan-ragam-peninggalannya/